Monday, February 10, 2014

Mike Mikail Marjinal

Berbeda dengan pelaku seni lainnya, bagi laki-laki yang bernama asli Mikail Israfil, seni bukan hanya sekadar ekspresi diri. Tapi merupakan alat komunikasi dari luapan ekspresi potret kenyataan sosial yang kemudian mampu menggeser cara berpikir penikmat seni itu sendiri.
Bersama Marjinal—band punk yang dikenal fenomenal dan memiliki banyak pengikut, Mike demikian dia dikenal orang banyak, telah menelorkan karya-karya yang mudah sekali diterima masyarakat arus bawah.
Lagu-lagu Marjinal kerap dikumandangkan para demonstran saat menggelar aksi massa turun ke jalan. Di berbagai alat transportasi, seperti bus kota, kereta bahkan di angkot, syair lagu yang diciptakannya juga seringkali dinyanyikan para pengamen.
Tak hanya itu, korban sosial karena himpitan ekonomi yang kemudian terpaksa harus keluar masuk bui-pun menggemari karyanya.
Maling-maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi…hukum adalah lembah hitam tak mencerminkan keadilan. Ada uang kau bisa dimenangkan tak ada uang know say goodbye…lagu berjudul Hukum Rimba adalah satu dari sekian banyak lagunya.
Tidak sekadar beronani dengan seninya, buah karya Marjinal, selain untuk mempertahankan diri dalam mengarungi samudra kehidupan juga menjadi penyelaras bahtera zaman dan menebarkan benih-benih perlawanan terhadap penindasan serta menaburkan budaya pembebasan.
Coba simak lagu Marjinal lainnya, Sampai kapan ini terjadi dijajah bangsa sendiri. Mari kita rapatkan barisan, untuk melawan penindasan! Wah, luar biasa kawan…
Mike lahir di Jakarta 23 Juni 1975 dari rahim seorang ibu yang bernama Rumani. Ayahnya seorang anggota TNI AD, Al Onli. Pria berambut gimbal ini, merupakan anak ke-empat dari lima bersaudara. Saat ini dia sudah dikaruniai dua orang anak.
Naluri untuk tidak tunduk ditindas sudah menjalar disanubarinya sejak masih duduk di bangku sekolah. Tahun ajaran 1992/1993 setelah menamatkan pendidikan di SMP 254 Jakarta, atas saran sang ayah dia melanjutkan sekolah di Sekolah Pelayaran Menengah (SPM) Cawang.
Kehidupan di SPM setali tiga uang dengan sepak terjang anak-anak Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) yang kini menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) atau Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) yang memupuk budaya senioritas dan mengedepankan kekerasan.
“Didikannya militeristik kawan! Enam bulan pertama [gara-gara merokok]ogut habis jadi sansak. Jadi bulan-bulanan para senior. Disuruh push up-lah, lari keliling lapangan, dipukulin, dimaki, habislah! Ogut jadi korban senioritas militeristik,” ujarnya kepada kami, mengenangkan masa lalunya.
Segelas kopi panas yang dihidangkannya menghangatkan perbincangan kami di markas Marjinal JL Setiabudi, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Rumah sewaan itu menyempil di tepi Setu Babakan.
Kantuk yang memberati mata lenyap dini hari itu, sesekali perbincangan kami terhenti, ketika Spanyol kembali melumat Rusia di laga semifinal Euro 2008.
Terus-terusan ditindas, Mike-pun berontak. “Setelah enam bulan jadi sansak para senior, ogut nggak tahan. Seragam PDH sekolah ogut bakar di depan rumah. Lalu memulai gerilya.”
Satu persatu para senior yang biasa memperlakukannya dengan keji, dicegatnya di terminal Pasar Minggu, Terminal Blok M dan berbagai tempat. Ditantangnya mereka duel satu lawan satu.
Yang berani dihajarnya, yang menolak duel diperlakukannya sebagaimana dirinya diperlakukan di sekolah. Push up! Dia melakukan itu sendirian. Bahkan tak hanya satu lawan satu, tiga orang-pun diladeninya. Hal itu berlangsung selama tiga bulan. Hingga aksinya menjadi teror bagi para senior.
“Banyak yang jadi ketakutan tuh. Akhirnya hal itu menjadi bahan omongan, bahkan sampai ke telinga para alumni. Banyak tuh alumni yang datang ingin ketemu, yang mana sih anaknya…ogut pikir mau ngapain, ternyata mereka justru salut,” kata lalu terbahak-bahak.
Sejak kasus itu, hingga lulus tahun 1995, Mike tak menemui satupun aral melintang di sekolah itu. Teman-teman seangkatannya merasa terlindungi, tak ada lagi yang namanya penyiksaan dari senior pada junior. Setelah naik kelas, adik kelaspun mengidolakannya.
“Tak ada penyiksaan. Asyik-asyik ajaNongkrong barengngerokok bareng, bebas-bebas aja. Kan ada tuh senior yang sok-sokkan ama juniornya, apalagi kalau lagi ama ceweknya, kalau kita mah nggak,” ujarnya tanpa terpesit rasa jumawa.
Ada kisah yang cukup menggelikan menjelang kelulusannya. Di SPM sebelum lulus para siswa diwajibkan membuat karya tulis sebagai penentu kelulusan.
Karena tidak pernah mengerti materi sekolah. Dia foto kopi bahan tesis dari Akademi Ilmu Pelayaran (AIP). Ternyata pengujinya, Pak Yanto adalah pembuat tesis itu.
“Kamu mau lulus? Coba push-up 200 kali. Baru 50 disuruh berhenti danogut dinyatakan lulus. Dia ngomong tesis itu yang bikin dia. Hehe…hehe,tengsin dah!” tuturnya tersipu-sipu.
Mengubah paradigma
Tubuh Mike dibaluri aneka macam gambar rajah namun di balik kesangaran penampilannya. Mike adalah sosok yang humoris, bersahabat dan punya angan-angan mulia. Terciptanya tatanan masyarakat yang saling bermanfaat dan tidak saling merugikan.
Gara-gara penampilannya dan rekan-rekannya yang sangar, warga kampung JL Setiabudi, Jagakarsa, Jakarta Selatan sempat resah. Kasak-kusuk mereka berencana langsung mengusir anak-anak Marjinal begitu masa sewa tiga bulan berakhir.
Mike dan rekan-rekannya bukan tak tahu. Masa tiga bulan adalah masa percobaan. Dinding bermata dan bertelinga. Sedikit saja mereka berbuat seperti stigma yang ada di kepala mereka maka Marjinal gagal mencuri hati masyarakat di tepi Setu Babakan.
Pelan tapi pasti, Marjinal tanpa banyak bicara memaksa persepsi masyarakat sekitar berubah. Mike membebaskan masyarakat untuk bertarung dengan fakta dan stigma mereka.
“Mereka heran ini anak-anak tato-an kok malah mengukir dan nyablon. Jualan dan bukannya mabuk-mabukan atau main perempuan. Pelan-pelan mereka berkunjung ke sini,” papar pemuda yang jatuh cinta pada musik punk sejak mendengarkan syair perlawanan band Exploited.
Pelan namun pasti persepsi masyarakat berubah. Bahkan markas Marjinal menjadi pusat seluruh aktivitas masyarakat. Mulai dari pengajian sampai rencana-rencana mewujudkan masyarakat madani.
Bobby salah satu pentolan Marjinal bahkan pernah harus ikut pengajian ibu-ibu usai terbangun dari kondisi mabuk. Baru sadar dari pengaruh alkohol, ibi-ibu telah menyeretnya ikut pengajian.
Marjinal pernah membuat jembatan, peternakan bebek hingga yang kini tengah dirancang adalah peternakan sapi perah. Sebuah rencana yang siap diwujudkan.
“Kami berusaha memberdayakan masyarakat. Lebih baik kami memberi arti dari pada turun ke jalan. Dalam kondisi saat ini yang dibutuhkan adalah membuat masyarakat sadar tentang eksistensi mereka sendiri. Ketika kesadaran itu datang masyarakat madani pun tercipta,” lanjutnya
Keberhasilan Marjinal tak pernah tercatat tinta sejarah. Namun masyarakat di Setu Babakan selalu meminta Mike dan rekan-rekannya untuk terus menetap di tempat itu.
“Marjinal masih terus bertahan saja itu sudah merupakan kemenangan. Berhasil membuat masyarakat menerima kondisi kami seperti ini juga kemenangan besar. Bagi kami mendapatkan medium untuk berbicara adalah puncak dari eksistensi manusia!” katanya
Kami akan terus memperjuangkan cita-cita kami membentuk kesadaran publik akan hak-hak mereka. Hingga menjadi publik. Tak ada tuan tak ada bawahan!” tegas Mike.
(Algooth Putranto, Agus Purwanto, Dodi Esvandi, Wenri Wanhar)
Histografi:
Nama : Mikail Israfil
Status : Menikah dengan dua anak
Pendidikan :
SD 03 Palembang
SMP 254 Jakarta Selatan
SPM Pelayaran Cawang
Akademi Tekhnologi Grafika Indonesia (ATGI)
Organisasi:
Forum Studi Aksi untuk Demokrasi (Forsaid)
Komite aksi mahasiswa bersama rakyat untuk Demokrasi (KOmrad)
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)….
Komite Aksi Rakyat Tertindas (KARAT)
Band :
Anti Military (1996)
Marjinal (1999-sekarang)
Diskografi:
Anti Military (1999)
Tunduk Ditindas atau Bangkit Melawan (2000)
Marsinah (2003)
Dua album Predator (2005)