Kisah Pilu Perang Gerilya Jendral Sudirman
Perang Gerilya Jend. Sudirman |
Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman
Pak Dirman diangkat Jendral oleh Ir. Soekarno karena telah membuat pasukan inggris mundur ke Semarang, pertempuran ini terjadi selama lima hari dan biasa dikenang dengan nama pertempuran Ambarawa. Pada saat perang Umum 1 Maret 49, Pak dirman memimpin perang lagi untuk melindungi Yogyakarta yang akan dikuasai belanda. karena pada waktu itu Kepemimpinan Indonesia dipindahkan Ke Yogyakarta demi keamanan karena Jakarta telah dikuasai oleh belanda, diwaktu itu Pak dirman melindungi Yogyakarta, Beliau pulang dalam keadaan ditandu karena paru-parunya tinggal satu yang masih berfungsi dan keadaannya sudah tidak memungkinkan. Hingga akhirnya semangat itu menjadi penggerak dan pendongkrak semangat para pasukan dikala itu. Foto di atas ini patut untuk di abadikan dan dijadikan contoh teladan untuk saat ini yang semakin hari kian luntur.
Jendral Soedirman pada tanggal 29 Januari 1950 wafat karena penyakit paru-parunya (tuberkulosis). Nama Besar Jendral Soedirman dikenang dengan cara Memberikan nama Jendral Soedirman pada nama jalan di kota-kota besar diseluruh Indonesia dan dibuatkannya Monumen Jendral Soedirman di Surabaya.
Perang gerilya ini prinsipnya hanyalah menunggu saat penjajah merasa aman, saat itulah pejuang yang dipimpin Pak dirman menyerang markas musuh. Pasukan yang dipimpin jendral sudirman melakukan penyerangan pada waktu setelah subuh. karena pada waktu itu para penjajah mulai istirahat setelah semalam berjaga. Hingga pada akhirnya penjajah kualahan menghadapi Pasukan bangsa kita yang kekuatannya tak seberapa dibandingkan dengan penjajah. inilah yang dimaksud dengan perang gerilya Pak Dirman.
=========================== Bio data Jendral Soedirman ========================
Nama : Soedirman (Jendral TNI Anumerta)
Tempat, Tanggal lahir : Bodas Karangjati - Purbalingga - Jawa Tengah, 24 Januari 1916
Tempat, Tanggal wafat : Magelang - Jawa Tengah, 29 Januari 1950
Perang : Ambarawa, Serangan umum 1 Maret 1949 dan Kemerdekaan
Pangkat : Jendral besar Anumerta bintang 5 Tahun 1997 (hanya dimiliki oleh 3 Tokoh Di indonesia)
Penghargaan : Pahlawan Pembela Kemerdekaan
=======================================================================
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda.[123] Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis,Bantul. Setibanya di sana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri.[124] Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer.[125] Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Kraton.[109] Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.[126]
Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion 102.[127] Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya;[128] mereka mencurigai konvoi Soedirman yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata.[129] Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana untuk menyerang Kediri.[128]
Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman.[128][130][131] Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.[128]
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya. Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran. Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.[
Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan GubernurWongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil.[134] Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.[134][136] Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.[137]
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya; Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan.[z] Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana.[Wartawan Rosihan Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".[1
source:WIKIPEDIA
0 comments:
Post a Comment